Omong-Omong di Belakang

Image
Semua binatang memiliki keunikan masing-masing       Bunyi dedaunan yang bergerak-gerak membuat Olay dan Celeb menghentikan obrolan mereka. Keduanya sedang bertengger di salah satu cabang pohon favorit mereka, pohon kayu hitam.      "Woi siapa itu?" teriak Olay sambil  mendongak melihat siapakah yang menganggu acara mereka.      "Jangan ganggu kami, dong!" Celeb ikut bersuara. Ia kibaskan  ekornya. Jambul hitamnya ikut bergerak lucu.     Ternyata Jepi si jerapah sedang menarik-narik daun di pohon dengan mulutnya. Lidahnya yang panjang menjulur, melilit daun-daun. Kemudian dengan lidahnya pula ia masukkan dedaunan itu ke mulut.      Tiba-tiba ia  menurunkan leher ke arah Olay dan Celeb. Dua ekor monyet yaki itu terkejut.     "Jepi, hati-hati kalau memanjangkan leher!" protes Olay. "Jangan membuat kami terkejut lagi."     "Hehehehehe maaf. Kalian sedang ngobrolin apa sih? Kelihatan serius sekali," tanya Jepi sambil mulutnya terus mengunya

Kembar

    
Rasa Takut Sering Menyusup

      
    Tangan Gina gemetar karena kedinginan. Dalam hati ia mengumpat karena lupa tidak membawa sarung tangan. Gina berusaha agar tidak salah memencet tombol angka pada kotak kunci otomatis pintu apartemen. Ini kelima kalinya Gina mencoba, tetapi pintu tetap tidak mau terbuka. Beberapa kali ia memelototi ponselnya, membaca ketikan percakapan melalui Whats App dengan si pemilik apartemen, Linda. Ia yakin ia tidak salah lihat. 22336688 adalah nomor yang diberikan Linda. Sementara itu sudah berkali-kali Gina mencoba menghubungi Linda, tetapi tidak berhasil juga. Ponsel Linda sama sekali tidak ada nada terima. Apa yang salah? Lalu dengan gerakan sangat hati-hati dipencetnya angka-angka itu. Dua, dua lagi lalu tiga dan tiga lagi. Gina berhenti. Seolah ia baru saja melakukan lari maraton sepuluh kilo meter. Ia menarik napas lalu melanjutkan lagi memencet tombol enam, enam lagi kemudian delapan dan terakhir delapan. Entah sejak kapan pekerjaan memencet tombol menjadi pekerjaan berat. Usai memencet Gina berdoa agar pintu itu bisa dibuka. Ia coba dorong dengan lengannya tetapi daun pintu itu tetap tidak bergerak. Rasa kesal memenuhi dada Gina. Mendorongnya untuk marah. Gina memukul dengan telapak daun pintu bercat hitam itu. Anehnya, pintu tiba-tiba terbuka. Meskipun dipenuhi rasa heran, Gina akhirnya masuk.
 

    Sebuah ruangan dengan langit-langit yang sangat tinggi menyambut Gina. Awalnya, ruangan itu gelap gulita. Namun mendadak terang benderang ketika kaki Gina melangkah lebih masuk. Dindingnya berlapis wall paper warna krem. Lukisan-lukisan ukuran besar tergantung di kanan kiri. Lukisan-lukisan itu sepertinya menceritakan satu kisah bersambung. Dilukis dengan dominasi warna dull . Ciri lukisan abad Renaissance. Perempuan-perempuan tanpa busana diabadikan dengan cara yang sangat natural. Gina tidak ingin melihat karena merasa terintimidasi. 


    Lampu gantungnya nampak sangat kuno. Bentuknya seperti ujung-ujung pisau yang mengarah ke bawah. Gina merasa aneh karena tiba-tiba menyangka pisau-pisau ditujukan pada dirinya. Mendadak ia melindungi puncak kepalanya dengan telapak tangan. 


    Ruangan itu berlanjut dengan tangga dengan anak-anak tangga yang lebar. Gina melirik kopernya. Mengukur kemampuannya untuk membawa koper sampai ke atas. Gedung apartemen ini terlalu sepi. Suara napas berkolaborasi suara koper yang diangkat, menjadi dominan. Ketika Gina sampai di tengah-tengah tangga, ia mendengar suara pintu yang digedor. Ia menoleh ke belakang. Berpikir pasti ada juga calon penghuni aparteman yang kesulitan membuka pintu seperti dirinya tadi. Gina bergegas menuruni anak tangga menuju pintu. Kopernya ia tinggal begitu saja. Suara gedoran di pintu itu terus berlanjut sampai Gina benar-benar berdiri di depan pintu. 
    "Wait, i'll help you," katanya dengan sedikit berteriak. Bunyi gedoran pintu itu tidak berhenti. 
    Gina menarik pegangan pintu dan membuka pintu berukuran besar itu. Ia semakin merinding ketika ternyata tidak ada siapa-siapa di luar. Gina melongokkan kepala, mencari tahu apakah seseorang yang menggedor tadi tidak sabar lalu meninggalkan apartemen itu. Tidak ada siapa pun. Gina hanya bisa melihat jalanan yang sepi. 


    Spontan Gina menahan napas. Rasa takut mulai menderanya. Tiba-tiba saja ia menyesal mengikuti menerima tugas dari bosnya. Menyesal memilih apartemen ini. Belum selesai dari keterkejutannya, tiba-tiba ia diserang rasa terkejut yang lebih parah. Kopernya tiba-tiba jatuh, menggelinding begitu saja dari anak tangga. Gina berlari menuju tangga, berusaha menahan agar kopernya tidak terdampar lebih ke bawah. Usahanya gagal. Koper itu tidak terjangkau, jatuh dan berhenti persis di tempat Gini berdiri. Gina merasa kerongkongannya tercekat. Apakah ia bermimpi? apakah ini sungguhan? apakah ini adegan film?
    Tidak! Ini nyata. Gina merasa sangat lemas menyadari kenyataan yang terjadi. Tanpa alasan dan sebab, kopernya terjatuh. Padahal bidang anak tangga itu sangat muat untuk kopernya. Gina memaksa tubuhnya untuk bergerak. Menarik kopernya. Lebih baik ia pergi saja. Ia bisa menuju hotel. Meskipun mahal, tidak apa.  Asalkan ia harus pergi dari apartemen ini.  Tetapi sesuatu terjadi. Pintu apartemen itu tidak bisa dibuka. Gina berteriak histeris sampai napasnya habis dan suaranya serak. Segala macam doa ia sebut dalam hati. 


    Sepertinya tidak ada pilihan lain. Tidak mungkin ia hanya berdiri saja di sini.  Gina memutuskan untuk meninggalkan kopernya, lalu setengah berlari menaiki anak tangga hingga sampai di lantai dua. Linda mengatakan unit apartemennya ada di lantai dua. Gina mencari pintu bertuliskan angka 22. Ia menemukan pintu itu. Pintu besar berwarna putih. Gina menoleh. Berharap ada pintu lain dan seseorang keluar dari pintu itu. Tetangga satu apartemen. Akan tetapi harapannya kandas. Gedung apartemen ini seperti gedung mati tak berpenghuni. 
    Gina meletakkan telapak di dada. Berharap dengan begitu ia bisa menenangkan diri, mengatur napasnya. Ia maju dan membuka kotak kecil yang ditempel pada dinding di samping pintu. Kotak itu berisi tombol-tombol angka. Ia memencet tombol angka kode yang diberikan Linda beberapa hari yang lalu. Dua, dua lagi. Lalu tiga, dan tiga lagi. Deretan dua angka kembar yang sempat membuat Gina penasaran. Mengapa semua kode dan nomor di apartemen ini serba kembar?  Ia lega ketika pintu berhasil terbuka. Sesuatu membuatnya menutup hidung.
    Bau menyengat langsung menguar seiring terbukanya pintu. Kepala Gina sudah basah karena keringat. Ini tidak masuk akal. Bagaimana ia bisa seberani ini? Ia adalah tipe yang penakut. Sama sekali tidak pernah menonton film horor. Tetapi sekarang, ia dihadapkan pada kejadian aneh yang membuatnya memiliki keberanian. 
    Gina melangkah masuk. Satu langkah, dua langkah hingga ia sampai pada satu ruangan berukuran empat meter persegi. Tirai hijau menutupi jendela-jendela berukuran besar.  Sebuah ranjang berada di tengah-tengah, dan ... satu mayat yang mulai membusuk  berada di tengah-tengah kasur. Gina berteriak. Teriakannya seketika berhenti ketika sebuah suara mengatakan sesuatu."Help me." 
    Mulut Gina terbuka tanpa bisa berkata apa-apa. Entah dari mana datangnya suara itu. Apakah dari si mayat? Gina tidak mampu berpikir. Ia keluar dari kamar, berlari menuruni tangga dengan sangat panik. Sangking paniknya, ia sampai terjungkal sebelum anak tangga usai. Gina berusaha  bangun meski merasa kakinya amat lemas. Pontang-panting  berlari menuju pintu. Kejadian aneh masih berlanjut. Pintu itu sekarang terbuka tanpa ia harus berusaha. Ia tarik dengan kasar kopernya. Tubuhnya terlalu lemas hingga akhirnya di depan apartemen itu, ia pingsan. 

                                                        ***
    Ketika Gina terbangun, ia sudah berada di rumah sakit. Seorang perawat berwajah asia mendampinginya. 
    "Saya Ikin, dari Malasya. Seseorang membawa anda kesini."
    "Berapa lama aku tidur?"
    Ikin melihat ke arah jam tangannya. "Kurang lebih enam jam."
    "Apa yang terjadi?"
    "Polisi mengatakan anda mungkin baru saja menemukan mayat."
    "Mayat di apartemen itu?"
    "Ya. Linda. Saya rasa wajahnya sangat mirip dengan wajah anda. Apakah anda saudaranya? Kembar?"
    "Aku tidak mengenal Linda. Hanya mengenalnya dari Facebook ketika mencari apartemen di Praha ini. Kapan perkiraan dia meninggal?"
    "Mungkin dua minggu lalu."
    "Tidak mungkin. Saya menghubungi dia satu minggu lalu."
    "Ia ingin anda menemukannya."
    Seketika Gina pingsan lagi. Otaknya tidak kuasa mencerna semua informasi yang ia terima. 


Foto : koleksi Pribadi 
Lokasi : Golden Lane, Praha 



Tulisan ini, dibuat untuk mengikuti kolaborasi cerita horor yang diikuti para teman sesama blogger yang  keren. Yuk, mampir juga karena banyak tulisan cakep.

1. Ria


2. Widhi

3. Anastasia

4. Dea

5. Imelda

6. Delia

7. Ira Barus

8. Mariana 

9. Evi

10.Iim

11. Fatim
    





     

Comments

  1. Arrgh.. ini cerita yang aku suka. Meninggalkan kesan dan rasa penasaran. Bikin kepala dipenuhi tanda tanya. Bisa dibuat lanjutannya nih Mbak Idah.. sukaa..

    ReplyDelete
  2. Keren banget, bisa dibikin lanjutannya nih. 😊

    ReplyDelete
  3. Seruuu. Boleh saran ya, mgkn tulisan bisa di-enter shg tdk berkesan tll banyak 🙏

    ReplyDelete
  4. maap ya ga pernah baca bukunya, cuma follow IG, FB dan bucan doang hihihih,
    tapi seru nich kek ya, wajib ikutin ah, penasaran,,,,,,
    (flo)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ahahhahahahah .... terima kasih cantiik. cuzz baca bukunya kapan2

      Delete
  5. Waaah.. asyik kalo ada lanjutannya nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih, kak. horor lagi dong yaa kalau ada kelanjutannya.

      Delete
  6. Replies
    1. terima kasih sangat, kak. Masih harus banyak belajar ini dari kak Evi juga

      Delete
  7. Suka dengan penggambaran yang detail. Jadi berimajinasi sambil membaca. Keren!

    ReplyDelete
  8. ceritanya seru, cuma lokasinya dikasih tau belakangan..soalnya saya membayangkan apartemen di Indonesia koq enga ada yg seperti dijabarkan dicerita. Tapi saya suka ceritanya. agak triller gitu ya..

    ReplyDelete
  9. Menatik ceritanya karna Baca ceritanya dari awal diajak penasaran.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Omong-Omong di Belakang

Diagnosis Rasa (2)