Omong-Omong di Belakang

Image
Semua binatang memiliki keunikan masing-masing       Bunyi dedaunan yang bergerak-gerak membuat Olay dan Celeb menghentikan obrolan mereka. Keduanya sedang bertengger di salah satu cabang pohon favorit mereka, pohon kayu hitam.      "Woi siapa itu?" teriak Olay sambil  mendongak melihat siapakah yang menganggu acara mereka.      "Jangan ganggu kami, dong!" Celeb ikut bersuara. Ia kibaskan  ekornya. Jambul hitamnya ikut bergerak lucu.     Ternyata Jepi si jerapah sedang menarik-narik daun di pohon dengan mulutnya. Lidahnya yang panjang menjulur, melilit daun-daun. Kemudian dengan lidahnya pula ia masukkan dedaunan itu ke mulut.      Tiba-tiba ia  menurunkan leher ke arah Olay dan Celeb. Dua ekor monyet yaki itu terkejut.     "Jepi, hati-hati kalau memanjangkan leher!" protes Olay. "Jangan membuat kami terkejut lagi."     "Hehehehehe maaf. Kalian sedang ngobrolin apa sih? Kelihatan serius sekali," tanya Jepi sambil mulutnya terus mengunya

Ketika Semua Tidak Lagi Sama

     

    Terlalu hening untuk sebuah ruang tunggu. Hanya sesekali terdengar bunyi lembaran majalah usang yang dibolak-balik. Dibaca dengan alasan dari pada tidak ada kerjaan. Ada empat perempuan, empat alasan yang mungkin berbeda-beda, tetapi bisa juga sama. Dari balik majalah yang sudah lusuh, diam-diam Hanum mengamati tiga perempuan lainnya. Tiba-tiba ia tergoda menilai, apakah tubuh bagus atau wajah cantik perempuan itu asli atau hasil permak sang dokter. Bibirnya mengerucut, hatinya menciut. Menyadari apa yang ada di tubuhnya. 
    Dua tahun silam ia tidak seperti ini. Tubuhnya jauh dari kesan seksi. Bukan tubuh yang membuat para lelaki rela melirik lebih dari sekali. Sama sekali tidak membanggakan. Kemudian rasa takut mulai menyerang. Suaminya, Wisnu, diterima bekerja di dunia yang memungkinkan untuk bertemu perempuan-perempuan berparas ayu dengan tubuh penuh daya magnit. Ia takut Wisnu akan berpaling. Ia tidak mau Wisnu terpikat perempuan lain. Ia mau Wisnu hanya menatap dirinya. Hanum menyadari, ia harus melakukan sesuatu. Akhirnya ia menabung sedikit demi sedikit agar mampu membeli kecantikan yang ia pikir abadi. Bertanya-tanya dokter manakah yang paling jago. Seorang teman merekomendasikan satu nama. 
    Tidak berpikir panjang, Hanum memilih satu hari baik. Ia menjadwalkan diri untuk operasi ketika Wisnu bertugas ke luar kota. Tentu saja akan menjadi kejutan manis, saat ia menyambut kedatangan suaminya dengan penampilan yang lebih molek. Terbayang Wisnu akan selalu menginginkan dirinya. Wisnu akan lebih mencintainya. Wisnu akan setia sampai mati. 

    Langkah kakinya ringan mencapai mal. Hanum berbelanja banyak kebutuhan pribadi. Tentu saja dengan penampilan barunya, baju-baju lama tidak akan muat. Sebuah lingerie berbahan lace memikat hatinya. Ia membeli tiga sekaligus. Hitam, merah muda dan warna kesukaannya, merah. Hanum meyakini bahwa merah tidak akan pernah gagal membuat seorang perempuan menjadi lebih memesona.  Senyum terus mengembang. Ia melambung ketika banyak mata memandangnya. Tatapan kagum dari para lelaki sementara itu, ia juga mendapat tatapan syirik dari para perempuan. Hanum menikmati keduanya. 

    Sore itu ia berdandan layaknya bintang film. Lingerie merah tidak kuasa menyembunyikan bentuk tubuh aduhainya. Ia harus membuat Wisnu terpukau. Benar saja! Mata Wisnu membelalak. Hasrat menggelora jelas tersirat. "Kamu cantik sekali," ucap Wisnu di telinga Hanum. Kalimat sederhana yang bermakna mewah di hatinya. Sudah sangat lama ia damba. Terlalu lama Wisnu kehilangan kosakata romantis. Desah napas beradu. Sesuatu mengejutkan Wisnu ketika telapaknya meraba sesuatu yang baru di dada Hanum. Sontak ia menjauhkan tubuh dengan mulut terbuka membentuk huruf O. Kedua tangannya terangkat dan kaku. Seperti serdadu kalah lalu dipaksa menyerah. Melihat reaksi suaminya, Hanum keheranan. Ia menunduk sebentar, mengamati apakah ada yang salah. 

    "Ada apa? Apa ada yang salah?" kebingungan melingkupi wajah Hanum. 

    "Kamu bukan istriku!" Wisnu nyaris berteriak. Tadi ia meraba sesuatu yang tidak biasa. Tubuh istrinya tidak seperti itu. 

    Malam itu, semuanya tidak lagi sama. Wisnu yang berbeda. Hanum apalagi! Saling diam tidak terelakkan. Hanum berkubang dalam kegetiran. Kepercayaan dirinya tercerabut. Ia membenci dirinya yang baru. Ia mundur dari pertemanan. Terlalu lemah menerima pandangan tak senang. Lidahnya letih menjawab pertanyaan bernada sindiran. Kasak-kusuk yang ia dengar lebih menyakitkan. Bumbunya terlalu berlebihan. Serta merta Hanum berubah luar dalam. 

    Bunyi pintu yang dibuka membuat Hanum menoleh. Buru-buru ia meletakkan majalah kembali ke meja, ketika seorang perawat memanggil namanya. Tibalah giliran untuk bertemu dokter spesialis bedah estetik. Hanum bangkit dengan degup jantung tidak karuan. Ia melangkah masuk. Wajah dokter itu tidak berubah sedikit pun dari terakhir kali Hanum bertemu. Putih bersih dihiasi sepasang mata yang menenangkan. 

    "Apa kabar, Bu Wisnu? Apa yang bisa saya bantu?" suara bariton itu menumbuhkan harapan Hanum. 

    "Saya ingin mengembalikan payudara saya seperti dulu lagi, Dok. Apa bisa?"

    Ya, Hanum ingin kembali seperti dulu. Yang ia mau mereguk kembali kehidupan lamanya. Dirinya dengan tubuh yang asli. 


Surabaya, ketika gerimis pertama datang.

Foto koleksi pribadi. 

Comments

  1. Sad. Setiap orang cantik jika mau menerima dirinya sendiri. Dan jangan berasumsi jika tak mau salah sendiri.Komunikasi, itu harusnya yang dilakukan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Di sini Kita Duduk Berdua

Kembar

Omong-Omong di Belakang